Jumat, 25 November 2011

Politik Subaltern


Pola relasi kekuasaan memunculkan kaum yang mendominasi dan kaum yang didominasi. Hubungan antar kedua kaum dapat dilihat dari kuatnya pembangunan ideologi yang dilancarkan oleh kaum yang mendominasi terhadap kaum yang didominasi. Suatu ideologi dari kaum dominan mampu membentuk pandangan kaum minoritas yang menekankan penerimaan secara damai. Hal ini disebut sebagai hegemoni kaum dominan terhadap kaum minoritas. Ekspresi kuasa ini tidak hanya ditunjukkan dalam ranah politik formal pemerintahan untuk melanggengkan dominasinya tetapi juga ditunjukkan olehsetiap interaksi sosial masyarakat. Setiap interaksi sosial memunculkan kaum minoritas dan kaum dominan. Kaum-kaum minoritas ini muncul disaat kuatnya hegemoni kaum dominan sehingga menimbulkan lemahnya akses terhadap ranah publik.
Munculnya bahasan mengenai kaum minoritas tidak terlepas dari berbagai gagasan dan teori yang membentuknya. Teori poskolonial, identitas dan politik identitas, Marxisme, dan feminisme adalah sebagian gagasan yang mempengaruhi pola relasi kuasa yang mengukuhkan kaum dominan dan kaum minoritas. Salah satu kajian mengenai kaum minoritas adalah subaltern. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan sekelompok orang yang termarjinalkan dan tereksklusi dalam ranah publik.
Tulisan kali ini akan membahas tentang subaltern, gagasan dan teori yang membentuknya, dan kaum-kaum subaltern yang berada di sekitar kehidupan kita.
Subaltern
Istilah subaltern mula-mula digunakan dan diperkenalkan oleh seorang Marxis Italia Antonio Gramsci sebagai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Kelas subaltern di samping tertindas mereka juga tidak memiliki akses kepada kaum elite dan cenderung diabaikan. Oleh Antonio Gramsci istilah ini dijadikan indikator terhadap “kaum inferior”, entitas dalam masyarakat yang menjadi objek hegemoni “kaum elite”.
Menurut Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya “Can Subaltern Speak?”, yang dimaksud subaltern adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di tingkat inferior (Gandhi 2006, h. 1). Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka.
Pengertian lain diungkapkan oleh sejarawan India, Ranajit Guha dalam tulisannya “One Some Aspects of the Historiography of Colonial India” mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan desa, yaitu rakyat. Subaltern menurut Guha adalah “mereka yang bukan elit”, dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik asing maupun pribumi”. Dengan demikian Guha menggeser dikotomi kolonial-antikolonial, sipil-militer, buruh-majikan, dan lain sebagainya menjadi “elit-subaltern”. Tidak hanya aktor-aktor luar saja tapi juga aktor-aktor dalam. Bisa jadi orang yang antikolonial dapat menjadi lebih kolonial dibanding kolonialnya sendiri, buruh menindas buruh lainnya, sipil menindas sipil lainnya, dan kelompok yang mengaku sebagai pembela kaum marjinal malah menindas kaum marjinal itu sendiri.
Subaltern digunakan untuk menunjukan sekelompok orang-orang yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah publik sehingga mengalami tekanan, khususnya dalam perjuangan melawan hegemonik globalisasi. Marginalisasi yang didefinisikan sebagai  pengasingan dari sistem ketenagakerjaan dan partisipasi dalam kehidupan sosial berdampak pada timbulnya perbedaan materi, pembatasan hak-hak kewarganegaraan dan hilangnya kesempatan untuk mengekspresikan diri, ciri ini melekat erat pada kaum subaltern.
Gagasan dan Konsep yang Melahirkan Subaltern
            Kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan berbagai gagasan dan konsep yang membentuknya. Berikut ini beberapa gagasan dan konsep tersebut:
a.       Teori Poskolonialisme
            Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap penduduk terjajah baik terhadap penjajah asing maupun terhadap penguasa patriarkal pribumi yang menindas (Gandhi 2006, h. 5). Sikap penentangan dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk mencari perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang terjajah dengan budaya dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat. Menurut Ashos Nandy teori poskolonial merupakan gagasan tentang resistensi psikologis terhadap misi pengadaban (civilising mission) kolonialisme. Kolonialisme tidak hanya berakhir dengan berakhirnya pendudukan kolonial tetapi juga memunculkan resistensi psikologis terhadap kolonialisme itu sendiri (Gandhi 2000, h. 24).
b.      Identitas dan Politik Identitas
Manusia sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya antar manusia dilekatkan berbagai latar belakang berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, orientasi seksual, dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang membentuk identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial (Kinasih 2007, h. 3). Pada dasarnya identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang membedakan individu atau kelompok dengan yang lainnya atau dengan kata lain identitas erat hubungannya dengan “perbedaan”.
Identitas tidak dapat dipisahkan dengan konstruksi keakuan (selfness) dan yang lain (the other) (Widayanti 2009, h. 13). Pengidentifikasian selfness dan the other sangat dipengaruhi oleh cara individu memandang dirinya dalam lingkungan dan komunitas. Individu akan melakukan pengidentifikasian terhadap diri sendiri dan orang lain dan berupaya memperkuat identitas dirinya. Semua yang tidak memiliki karakter seperti dirinya atau komunitasnya dianggap sebagai the other.
Dalam kehidupannya manusia tidak hanya dilekatkan dengan identitas budaya, namun juga dilekatkan dengan makhluk politik. Ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan pembentukan identitas: primodialisme, konstruktivisme dan instrumentalisme. Dalam perspektif primodialisme identitas diperoleh dari sesuatu yang alamiah dan terbentuk melalui sosialisasi yang turun temurun. Sedangkan dalam perspektif kontruktivisme identitas dibentuk dan hasil proses sosial yang komplek, dapat terbentuk dari ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat. Sementara dalam perspektif instrumentalisme, identitas didefinisikan sebagai sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan.
Pengorganisasian identitas menjadi penting untuk mempertahankan eksistensi individu atau kelompok. Pada dasarnya identitas dibentuk dalam rangka memperoleh persamaan identitas sosial (social equality) dan pengakuan (recognition) dari pihak lain (Kinasih 2007, h. 8). Identitaslah yang memberikan jaminan keberadaan diri. Identitas akan selalu dipertahankan secara reflektif dengan berdasarkan pada perubahan kebutuhan dan kepentingan. Identitas adalah sebuah proses yang tidak terberi (given), dan tidak statis (Kinasih 2007, h. 5). Menurut Abdillah pencarian identitas merupakan sebuah “proses menjadi”, yang dimana setiap individu atau kelompok terus menerus mengidentifikasi diri, mencari diri, dan membentuk identitasnya. Identitas merupakan sesuatu yang hybrid, yang mudah dimanipulasi. Ketika lingkungan sosial politik mengalami perubahan maka identitas akan ikut berubah sehingga sulit dibedakan mana identitas asli dan mana identitas yang telah dipolitisasi. Mobilisasi identitas digunakan untuk menekan kaum yang dianggap memiliki identitas yang berbeda.
            Kaum subaltern ini dalam menegaskan dan mempertahankan identitas tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk  memperoleh, memperluas dan mempertahankan identitas  tersebut sebagai bukti nyata dalam representasi sosial. Sehingga mereka dapat diakui dan melepaskan “baju” minoritasnya. Oleh karena itu subaltern erat kaitannya dengan relasi kuasa dan politik.
Kaum-kaum Subaltern
            Kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak berada jauh dari pandangan kita. Stereotype yang dicanangkan kaum dominan menjadikan kaum subaltern sulit mengakses ranah publik. Perlakuan berbeda dan tindakan yang tidak menyenangkan dari kelompok dominan terhadap kelompok subaltern memunculkan perlawanan baik dari dalam kelompok sendiri maupun terhadap aktor lain yaitu lingkungan sekitar dan negara. Perlawanan telah ditunjukkan kaum-kaum subaltern seperti buruh, petani, waria, etnis Tionghoa di Indonesia, dan lain sebagainya. Berikut ini bebrapa contoh dari mereka:
a.       Buruh
Pengaruh kapitalisme yang mendunia, kaum buruh menjadi kelompok yang menjadi sasaran hegemoni dari kelas atas yaitu majikan dan kaum elit. Pandangan umum mengenai kaum buruh merupakan kelompok kelas bawah yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam segi ekonomi, mereka tergolong lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan diri. Adanya diskriminasi yang mereka alami seperti upah rendah dan tunjangna yang sangat minim.
Sebagai kaum subaltern perjuangan kaum buruh untuk menuju kehidupan yang lebih baik, mereka membentuk sarikat sebagai bentuk representasi untuk berelasi dengan kaum elit. Serikat buruh ini merupakan suatu bentuk kesamaan rasa dalam memperjuangkan perbaikan yang menyeluruh untuk segala aspek kehidupan, terutama persoalan ekonomi.
b.      Waria
Kaum waria dapat digolongkan sebagai kelompok kelas bawah yang mengalami penekanan dan diskriminas dari kelas dominan. Terpinggirnya waria dari ranah publikberkaitan dengan identitas transeksual yang dimilikinya yang belum mendapat pengakuan dari masyarakat pada umumnya. Kondisi sosial masyarakat saat ini hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan.
Budaya dominan masyarakat yang hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan menyebabkan kaum waria mengalami diskriminasi dalam kelompok masyarakat. Diskriminasi yang dialami kaum waria berhubungan erat dengan stereotypedari masyarakat umum bahwa kaum waria dekat dengan hal negatif. Dalam hal ini penyimpangan seksualitas, penderita HIV/AIDS dan  juga digolongkan sebagai komunitas yang memiliki tingkat pendidikan rendah yang tidak mempunyai ketrampilan selain berdandan. Kaum waria sebagai subaltern dipahami dengan melihat pendiskriminasian dari kelompok masyarakat lain.
Diskriminasi dalam kaum waria terbagi kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung (Widayanti 2009, h. 25). Diskriminasi langsung berupa pembatasan bagi waria untuk mengakses wilayah tertentu seperti daerah pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya. Diskriminasi tidak langsung terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang menjadi pembatas kelompok waria untuk berhubungan dengan kelompok lain. Posisi waria yang terpinggirkan dalam ranah publik ini mengalami diskriminasi dalam akses administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Misalnya dalam pembuatan KTP sebagai bentuk pengakuan menjadi warga negara Indonesia, KTP juga menjadi prasyarat untuk mengakses hak-hak politik dan sebagai alat untuk mengakses pelayanan publik lainnya. Sering mengalami kesulitan dalam pembuatannya, mulai dari prasyarat yang dibutuhkan seperti Kartu Keluarga (yang jarang dimiliki oleh Waria yang tereksklusi dari keluarganya), penegasan identitas waria dalam KTP (karena hanya terdapat dua jenis kelamin pilihan kelamin yakni laki laki dan perempuan), juga dalam foto yang digunakan dalam KTP (waria harus berfoto dengan wajah “aslinya”
 sebagai laki-laki). Belum adanya pengakuan dari pemerintah ini yang membatasi waria untuk menegaskan identitasnya.
Waria sebagai subaltern tidak memiliki  kemampuan untuk memperjuangkan dirinya sendiri. Organisasi waria memiliki peran penting dalam mewujudkan pengakuan masyarakat terhadap identitas waria. Berusaha merubah paradigma negatif tentang waria menjadi yang lebih positif dalam kehidupan sosial. Upaya dilakukan dengan pernyataan dalam berbagai aktivitas diskusi baik formal maupun non formal dengan masyarakat luas, dan juga melalui media tulisan untuk membuat suatu wacana. Selain elite waria, akademisi juga berperan dalam merepresentasikan identitas waria dengan melakukan penelitian dan kajiannya yang berpengaruh pada identitas waria.
Kaum subaltern yang tereksklusi ini, dapat memberi pengaruh dan tekanan pada elit. Seperti contoh pada kalangan waria yang seharusnya mendapat pengakuan dalam ranah pemerintah ini, memerlukan pembuatan suatu kebijakan untuk kalangan waria, agar tidak tereksklusi dalam ranah publik. Kaum subaltern juga bisa menjadi kelompok penekan terhadap suatu kebijakan pemerintahan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh kalangan ini. Meski terdapat kalangan yang memilih dalam ranah yang berbeda dalam lingkup dominan, bukan berarti perbedaan tersebut menempatkan mereka sebagai kaum minoritas yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah publik. Apalagi dengan adanya perbedaan bentuk perlakuan pada kalangan ini yang cendrung diskriminatif sungguh membuat hak-hak mereka menjadi tidak terekonstruksi secara nyata.
c.       Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa di Indonesia yang tidak mempunyai cukup ruang untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebudayaannya. Di Indonesia sendiri terdapat dikotomi warga negara berdasarkan perbedaan etnik. Dikotomi pribumi dan non-pribumi menjadi persoalan etnis dan pada gilirannya menyebabkan permasalahan identitas. Tionghoa selalu dicitrakan sebagai pendatang sehingga identitas non-pribumi selalu dilekatkan kepadanya, sebagai penguasa ekonomi, dan memiliki identitas homogen. Citra ini dibentuk oleh kaum dominan dan ditumbuhkan secara terus menerus melalui prejudice dan stereotype (Kinasih 2009, h. 11). Identitas mereka sering didefinisikan secara paksa oleh kaum dominan, terlebih lagi negara yang demi mempertahankan hegemoni kekuasaannya berperan menjalankan politik identitas. Tidak hanya pergulatannya dalam identitas bangsa tetapi juga berhadapan dengan struktur dan budaya lokal.

*Tulisan ini merupakan tugas matakuliah Politik Ektra-Parlementarian Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM yang telah diserahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Leela. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam. 2006.
Kinasih, Ayu Windy. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. 2007.
Nuraini, Juliastuti. Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial. http://kunci.or.id/articles/intelektual-gagasan-subaltern-dan-perubahan-sosial-oleh-antariksa/, Rabu, 22 Juli 2009, dilihat 4 April 2011.
Widayanti, Titik. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Research Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. 2009.

4 komentar: